Selasa, 15 November 2016

Keluarga Sebagai Sistem


TUGAS
PARENTING ANAK USIA DNI
BAB I
KELUARGA SEBAGAI SISTEM


OLEH
KELOMPOK 13
ANNISA (14022144)
DEARTIA AYUNDA (14022147)

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT Rabb seluruh alam, yang telah menciptakan manusia dengan sempurna. Memberikan nikmat terbesar iman dan islam yang tertancap mantap dilubuk hati kita. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, tabi’innya, dan seluruh umatnya yang istiqomah mengikuti tuntunan dan teladan sampai akhir zaman. Atas berkat rahmat Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah  ini dengan judul “KELUARGA SEBAGAI SISTEM”. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan ini, masih banyak terdapat kekeliruan, seperti pepatah yang mengatakan tak ada gading yang tak retak, kami akan sangat berlapang dada dan besar hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun, bermanfaat bagi kelanjutan pembuatan makalah yang selanjutnya.

Padang,  September 2016


Kelompok 13

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial, keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai perubahan oleh faktor perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak dan karakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan. Pada beberapa negara isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang mengemuka. Meningkatnya angka perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai keluarga ini. Kasus perceraian di Indonesia, sebagaimana dipaparkan dalam laman Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (www.badilag.net) juga mengalami tren peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah perceraian yang diputus oleh pengadilan agama sebanyak 167.807 kasus, meningkat menjadi 213.960 kasus pada tahun 2008, dan 223.371 kasus pada tahun 2009.
Selain itu terungkap pula data bahwa lembaga keluarga tidak selalu menjadi tempat yang baik bagi perkembangan anak. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kekerasan anak yang dilakukan oleh orang terdekat, termasuk keluarga. Menurut data Susenas 2006 (www.menegpp.go.id) angka korban kekerasan anak mencapai 2,29 juta (3%) dengan jumlah kasus di pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Bila dilihat dari sisi pelaku kekerasan, maka sebesar 61,4% dilakukan oleh orang tua. Pelaku berikutnya berturut-turut adalah tetangga (6,7%), famili (3,8%), guru (3%), rekan (0,8%), dan majikan (0,4%).
Meningkatnya angka perceraian telah memunculkan isu mengenai kemerosotan nilai perkawinan. Walaupun demikian, berbagai kajian telah menunjukkan berbagai manfaat dari perkawinan (Olson & Olson, 2000), antara lain :
1.      Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat. Orang yang menikah cenderung menghindari perilaku yang berbahaya daripada lajang, bercerai, atau duda. Misalnya orang yang menikah lebih sedikit memiliki masalah minuman keras, yang sering kali terkait dengan masalah kecelakaan, konflik antarpribadi, dan depresi.
2.      Orang yang menikah hidup lebih lama. Dapat terjadi karena mereka memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.
3.      Orang yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik.
4.      Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi. Orang yang menikah dapat menggabungkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonominya.
5.      Anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua lengkap. Anak-anak dengan kedua orang tua yang tinggal serumah cenderung lebih baik secara emosi dan akademik. Sebagai remaja, mereka lebih sedikit yang mengalami hamil sebelum menikah. Anak-anak dapat memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi tentang keluarga?
2.      Apakah struktur keluarga?
3.      Apakah relasi dalam keluarga?
4.      Bagaimanakah keberfungsian keluarga?
5.      Apakah tentang teori sistem keluarga tersebut?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengenal serta mengetahui tentang keluarga sebagai sistem dari parenting anak usia dini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Keluarga
Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal. Salah satu ilmuwan yang permulaan mengkaji keluarga adalah George Murdock. Dalam bukunya Social Structure, Murdock menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965). Melalui surveinya terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan sejak tahun 1937, Murdock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygamous family), dan keluarga batih (extended family). Berdasarkan penelitiannya, Murdock menyatakan bahwa keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal. Para anggota dari keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok sosial, melainkan juga menjalankan empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan, dan ekonomi.
Kesimpulan Murdock mengenai keluarga inti sebagai definisi keluarga yang bersifat universal mendapatkan sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial. Definisi Murdock dianggap terlalu bersifat struktural walaupun ia juga menjelaskan empat fungsi yang terintegrasi dalam keluarga inti. Ira Reiss (1965), salah satu pengkritik Murdock, berpendapat bahwa bukti lintas budaya menunjukkan adanya suatu masyarakat yang menjadikan kepuasan seksual, fungsi reproduksi, dan kerja sama ekonomi tidak melekat dalam jenis hubungan yang disebut keluarga. Selanjutnya Reiss mengajukan suatu ciri spesifik yang melekat dalam keluarga, yaitu proses sosialisasi pemeliharaan (nurturant socialization). Dengan demikian, menurut Reiss keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.
Pandangan berbeda diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang menganggap definisi Reiss kurang bersifat nominal, karena menekankan pada berlakunya fungsi tertentu. Pandangan Weigert dan Thomas didasarkan pada pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada generasi berikutnya dalam rangka menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsinya. Komponen budaya yang perlu ditransmisikan mereka sebut dengan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (symbolic patternvalue). Menurut mereka keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola nilai bersifat simbolik kepada generasi baru.
Pada periode berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana orang awam mengonsepsi keluarga. Temuannya menunjukkan adanya kesesuaian antara konsep keluarga oleh awam dan tiga perspektif pengertian keluarga utuh dari Ascan F. Koerner dan Mary Anne Fitzpatrick. Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi intersaksional.
1.      Definisi struktural
Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orangtua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).
2.      Definisi fungsional
Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3.      Definisi transaksional
Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
                                    Pada umumnya, fungsi yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan dan merawat anak, menyelesaikan masalah, dan saling peduli antaranggotanya tidak berubah substansinya dari masa ke masa (Day, 2010). Namun, bagaimana keluarga melakukannya dan siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut dapat berubah dari masa ke masa dan bervariasi di antara berbagai budaya.
B.     Struktur Keluarga
Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu : suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orangtua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti hubungan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada orangtuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi.
Adapun keluarga batih adalah keluarga yang didalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee,1982) :
1.      Keluarga batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orangtuanya.
2.      Keluarga batih adalah keluarga berumpun (linear family). Bentuk ini terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orangtuanya.
3.      Keluarga batih adalah keluarga beranting (fully extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. 
Menurut Lee (1982) kompleksitas struktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah individu yang menjadi anggota keluarga, tetapi oleh banyaknya posisi sosial yang terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu, besaran keluarga (family size) yang ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota, tidak identik dengan struktur keluarga (family structure). Walaupun keduanya memiliki pertalian yang positif, namun keduanya tetap merupakan jenis variabel yang berbeda.
Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang berlangsung dalam keluarga lebih besar pengaruhnya terhadap akibatan-akibatan pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup. Proses dalam keluarga tersebut mencakup proses yang terjadi dalam relasi pasangan, relasi orangtua-anak, dan relasi kakak-adik. Atau secara lebih spesifik berupa kelekatan orangtua-anak, supervisi orangtua kepada anak dan perilaku kontrol dalam pengasuhan (Leiber, Mack, & Featherstone, 2009).
C.    Relasi dalam Keluarga
Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi yang terjadi dalam keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan karakteristik relasi tersebut.
1.      Relasi Pasangan Suami Istri
Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana di ungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik.
Dalam konsep perkawinan yang tradisional berlaku pembagian tugas dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini telah semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun pekerjaan domestik. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak juga mendorong keterlibatan pasangan untuk bersama-sama dalam pengasuhan anak. Keberhasilan membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.
Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Glenn, 2003). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaannya adalah bila kebahagiaan perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan berdasarkan pada evaluasi kognitif.
Menurut David H. Olson dan Amy K.Olson (2000), terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu : komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual. Di antara sepuluh aspek tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik.
Aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan keyakinan individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan. Strategi resolusi konflik pasangan dapat dibedakan menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua hal yang sering kali membuat resolusi konflik tidak efektif adalah tindakan menyalahkan orang dan mengungkit persoalan yang telah lalu. Adapun resolusi konflik yang konstruktif dapat dilakukan dengan :
1.      Menentukan pokok permasalahan
2.      Mendiskusikan sumbangan masing-masing pada permasalahan yang muncul
3.      Mendiskusikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
4.      Menentukan dan menghargai peran masing-masing terhadap penyelesaian masalah.
Relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam hubungan. Suatu relasi seksual yang baik sering kali merupakan akibat dari relasi emosi yang baik antara pasangan. Sayangnya urusan seks sering kali menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan. Perbedaan tingkat ketertarikan terhadap seks merupakan salah satu hal yang sering menjadi ganjalan dalam relasi pasangan. Selain itu kurangnya sikap dan tindakan afeksi terhadap pasangan juga berpengaruh terhadap kepuasan relasi seksual. Oleh karena kualitas relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan, maka kualitas tersebut perlu dijaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas antara pasangan. Komunikasi seksualitas akan membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi nonverbal dapat membantu untuk menunjukkan afeksi terhadap pasangan.
Kualitas perkawinan dapat memengaruhi berlangsungnya proses-proses yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan performansi individu. Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan memberikan perhatian secara lebih positif pada anak (Rickard, Forehand, Atkeson, & Lopez, 1982). Kepuasan perkawinan juga ditengarai mempunyai kaitan dengan terjadinya kekerasan terhadap pasangan (Stith, green, Smith, & Ward, 2008), masalah perilaku dan penyesuaian anak (Frick, Lahey, Hartdagen, & Hynd, 1989; Fishman & Meyers, 2000). Mengingat hal-hal tersebut, pasangan menikah perlu didorong untuk mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kepuasan perkawinan agar dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan generasi yang berkualitas.
2.      Relasi Orang Tua Anak
Menjadi orang tua merupakan suatu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan.
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Menurut Thomson hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain semenjak dini.
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang pertama kali dicetuskan oleh Jhon Bowlby (1969). Pada masa awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya (Rosen & Rothbaum, 2003). Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Turner, 2005). Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006), yakni sebagai ikatan emosi yang terjadi diantara manusia yang memandu perasaan dan perilaku.
Selain teori kelekatan, hubungan antara orang tua-anak juga dapat dijelaskan dengan pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua (parental acceptance-rejectiontheory) yang dikembangkan oleh Rohner (Schwartz, Zambonga, Revart, Kim, Weisskirch, Williams, Besamin, & Finley, 2009). Menurut Rohner dkk,. Persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakam orang tua atau sosok signifikan yang lain akan memengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.
Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi kedalam dua masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirection ality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan problem perilaku. Para ilmuan mulai mengenali bahwa baik orang tua maupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi.
Menurut Chen, khualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afektif positif (possitive affect), dan ketanggapan (responssiveness) dalam hubungan mereka.
Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan ketanggapan. Rasa percaya diri anak dapat tumbuh karena adanya rasa aman terhadap lingkungannya dan orang lain. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.
Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua- anak (Hinde, 1976). Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu :
a.       Interaksi. Orang tua dan anak berintaraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi dikemudian hari.
b.      Konribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduannya.
c.       Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak yang lain.
d.      Pengharapan masa lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.
e.       Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduannya.
3.      Relasi Antarsaudara
Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan tergantung pada masa kana-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat karakterisktik, yaitu : jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin (Steelman & Koch, 2009 ).
Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan waktu yang lebih sedikit atau interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan perawatan terhadap anak kedua dibanding dengan anak pertama, terutama bila anak kedua perempuan (Jacobs & Moss 1976).
Pola satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Dalam perspektif ini seseorang anak dapat mengalami kemunduran perkembangan (regresi) yang disebabkan oleh kelahiran adiknya. Selain itu juga terdapat suatu kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber dayanya secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang lahir kemudian.
Walaupun berbagai penelitian menunjukan berbagai hal negatif dalam hubungan antarasaudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivalry, namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger Tallman & Hsiao, 2003), antara lain :
a.       Sebagai tempat ujia coba (testing ground). Saat bereksperimen dengan perilaku anak, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukannya pada orang tua atau teman sebayanya.
b.      Sebagai guru, biasanya anak yang lebih besar, kerena memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.
c.       Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negoisasi.
d.      Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan konflik.
e.       Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.
f.       Sebagai pelindung dari saudaranya.
g.      Sebagai menerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap adiknya.
h.      Sebagai membuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada keluarga.
D.    Keberfungsian Keluarga
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi.
Menurut Berns (2004), keluarga memiliki 5 fungsi dasar yaitu :
a.         Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada didalam masyarakat.
b.         Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tekni dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c.         Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
d.        Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan hidup.
e.         Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak.
                        Dalam perspektif perkembangan fungsi paling penting dari keluarga adalah melakukan perawatan dan sosialisai kepada anak. Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran sosialisasi, melainkan keluarga tempat pertama bagi anak dalam menjalani kehidupannya.
                        Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.
1.      Kelentingan Keluarga
      Di tengah zaman yang penuh dengan pergolakan, perubahan yang pesat dan berbagai ketidakpastian, keluarga kian menghadapi tantangan yang berat. Agar keluarga menjadi faktor yang signifikan dan berperan positif bagi masyarakat, maka keluarga haru memiliki kelentingan dalam menghadapi tantangan zaman.
      Perspektif kelentingan memandang distres sebagai tantangan bagi keluarga, bukan hal yang merusak, serta melihat potensi yang dimiliki keluarga untuk tumbuh dan melakukan perbaikan.
      Terdapat 3 faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam keluarga. Keyakinan merupakan lensa yang digunakan untuk memandang dunia dan kehidupan. Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur pendukung bagi interaksi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Pola pengorganisasian keluarga mencakup 3 aspek, yaitu fleksibilitas, ketergantungan (connecredness), serta sumber daya sosial dan ekonomi.
      Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati. Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga adalah :
a.       Kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga untuk memperjelas situasi krisis.
b.      Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang memungkinkan anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berintekrasi secara menyenangkan, bertanggung jawab terhadap masing-masing perasaan dan perilakunya.
c.       Kesediaan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.

2.      Kekukuhan Keluarga
Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi didalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mengidentifikasikan enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, sebagai berikut :
a.       Memiliki komitmen. Dalam keadaan ini setian anggota keluarga dihargai dan diakui. Setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya adalah “satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.
b.      Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap orang menginginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai, karena penghargaan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap anggota keluarga dapat melihat sisi baik dari anggota yang lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikan tersebut. Setiap ada keberhasilan dirayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan menjadi kebiasaan.
c.       Terdapat waktu untuk berkumpul bersama. Sebagian orang beranggapan bahwa dalam hubungan orang tua-anak yang penting terdapat waktu yang berkhualitas, walaupun tidak sering. Melalui interaksi orang tua-anak yang frekuensinya sering akan mendukung terbentuknya kelekatan anak dengan orang tua. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang akan menyatu dan menguatkan mereka.
d.      Mengembangkan spiritualitas. Bagi sebagian keluarga, komunitas keagamaan menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan sperpektif. Ibarat ungkapan, keluarga-keluarga yang sering berdoa bersama-sama akan memiliki rasa kebersamaan.
e.       Menyelesaikan konflik serta menghadapi  tekanan dan krisis dengan efektif. Setiap keluarga pasti memiliki konflik, namun keluarga yang kukuh akan bersama-sama menghadapi masalah yang muncul bukannya bertahan untuk saling berhadapan sehingga masalah tidak terselesaikan. Keluarga yang kukuh juga mengelola sumber dayanya secara bijaksana dan mempertimbangkan masa depan sehingga tekanan dapat diminimalkan. Ketika keluarga ditimpa krisi, keluarga yang kukuh akan bersatu dan menghadapinya bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.
f.       Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola-pola dalam keluarga ini akan menetapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya. Harmoni dan ritme mungkin berubah sebagai hasil dan kreatifitas, akan tetapi tetap saja hasilnya adalah musik yang indah.
E.     Teori Sistem Keluarga
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam kajian keluarga adalah pendekatan teori sistem. Teori sistem pertama kali dicetuskan oleh Minuchin (1974), yang mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen. Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultur yang terbuka dan transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam usahanya untuk mempertahankan rutinitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem.
Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Randal D. Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Keseluruhan (the family as awhole). Memahami keluarga tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan. Dalam pendekatan keluarga sebagai sistem, perhatian utama justru diberikan pada bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian memberikan fokus pada individu.
b.      Struktur (underlying structures). Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur, misalnya pola interaksi antara anggota keluarga yang menentukan apa yan terjadi didalam keluarga. Bila Freud mencoba mengungkapkan hal-hal yang melandasi pikiran manusia, seseorang peniliti atau terapis keluarga akan berusaha mengungkapkan pola-pola didalam keluarga dengan mengamati bagaimana keluarga memecahkan masalah, bagaiman anggota keluarga anggota berkomunikasi satu sama lain, dan bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya.
c.       Tujuan (families have goals). Setiap keluarga memiliki tujuam yang ingin mereka raih, tetapi untuk mengungkapkan tujuan keluarga ini seorang peniliti atau terapis perlu memiliki keterampilan observasi yang memadai untuk dapat melihat pola-pola yang berulang didalam keluarga sebelum tema atau tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga tergantung seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga terhadap upaya pencapaian tujuan.
d.      Keseimbangan (equilibrium). Sebuah sepeda motor, sebagai sebuah sistem yang tertutup dan mekanistik, mungkin suatu saat dapat mogok karena kehabisan bensi. Untuk membuatnya berjalan lagi, kita tidak perlu bersusah-susah, cukup mengisi tangki bensinnya. Tidak demikian hal nya dengan keluarga yang merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis. Dalam menggapai tujuannya keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi diluar dirinya yang berubah dan berkembang.
e.       Kelembaman (morphostatis). Selain berusaha mencapai keseimbangan dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi, keluarga juga mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidapan sehari-hari agar berlangsung dengan baik.
f.       Batas-batas (boundaries). Setiap sistem-sistem memiliki batas-batas terluarnya yang membuatnya terpisah atau berbeda dengan sistem yang lain. Batas-batas ini muncul manakala dua atau lebih sistem atau subsistem bertemu, berinteraksi, atau bersama-sama. Beberapa sistem memiliki batas-batas yang kukuh dan kuku, sementara yang lainnya mungkin memiliki batas-batas yang mudah tembus. Apabila batas-batasnya mudah tembus berarti keluarga memiliki batas-batas yang tidak rapat. Pada kenyataannya ada keluarga yang batas-batasnya sangat mudah tembus seperi saringan, sementara keluarga yang lain sangat protektif dan sulit ditembus seperti dinding-dinding istana.
g.      Subsistem. Didalam keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya subsistem pasangan suami istri, subsistemrelasi orang tua-anak, subsistem peran orang tua. Salah satu tugas utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas-batas keluarga.
h.      Equifinality dan equipotentiality. Secara sederhana gagasan tentang equinality berarti bahwa berbagai permulaan dapat membawa pada hasil akhir yang sama, sementara suatu permulaan yang sama dapat pula membawa pada hasil akhir yang berbeda. Sebagai contoh, berbagai kajian tentang interaksi orang tua anak memperlihatkan bahwa keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari orang tua dapat menyebabkan hasil yang berbeda. Sikap orang tua yang sangat tanggap (over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak menjadi berprestesi  (overachieve) dan dapat pula menyebabkan sebagian anak yang lain menjadi kurang berprestasi (underachieve). Contoh lainnya adalah anak-anak yang memiliki orang tua yang pecandu alkohol dapat menyebabkan anak ikut mencandu alkohol atau bersikap anti-alkohol. Demikian juga pasangan orang tua dapat semakin meningkat kebersamaanya oleh sebab kelahiran atau kematian anaknya. Adapun equipotentiality berarti bahwa suatu psebab dapat menghasilkan suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan mengikuti sebab tersebut.
Pendekatan teori sistem memandang keluarga sebagai kelompok yang memiliki sistem hierarki (Hendry, 1994), yang artinya bahwa terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu dan relasi dua pihak (dyadic). Proses saling mempengaruhi antarabagian didalam keluarga dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung (Shaffer, 2002). Pengaruh langsung (indirect effect) dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak yang lain, atau pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lain.
Dengan pendekatan teori sistem, para peneliti dan terapis keluarga akan memberikan fokus perhatian pada tindakan yang dapat dilakukan dalam menanggapi suatu peristiwa dari pada memerhatikan penyebab suatu peristiwa.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ada beragam definisi keluarga yang diajukan oleh pra ahli. Definisi keluarga yang kucup komprehensif menurut Hill adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada disuatu jaringan.
Struktur keluarga terdapat dua macam, yakni keluarga inti dan keluarga batih. Ada tiga bentuk keluarga batih, yaitu keluarga bercabang, keluarga berumpun, dan keluarga beranting. Struktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah orang yang berada didalamnya, tetapi oleh banyaknya posisi sosial yang terdapat dalam keluarga.
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri, kemudian diikuti relasi orang tua-anak dan relasi antarsaudara. Relasi yang ada didalam keluarga bersifat dinamis, dan dapat membawa pengaruh positif dan negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi.
Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingsn dan kekukuhannya dalam menghadapi tantangan. Kelentingan keluarga merupakan kemampuan untuk bangkit dari penderitaan, dengan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Kekukuhan keluarga menggambarkan khualitas relasi didalam keluarga yang menyumbang bagi kesehatan dan kesejahteraan bagi anggota didalamnya.
Teori sistem menjadi salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam kajian keluarga. Teori sistem dicetus pertama kali oleh Minuchin. Teori sistem memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang mempunyai struktur, senantiasa berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi untuk mempertahankan kontinuitasnya.


 DAFTAR PUSTAKA

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga ; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Kencana : Jakarta.