TUGAS
PARENTING ANAK
USIA DNI
BAB I
KELUARGA
SEBAGAI SISTEM
OLEH
KELOMPOK 13
ANNISA
(14022144)
DEARTIA AYUNDA
(14022147)
PENDIDIKAN GURU
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT Rabb
seluruh alam, yang telah menciptakan manusia dengan sempurna. Memberikan nikmat
terbesar iman dan islam yang tertancap mantap dilubuk hati kita. Sholawat dan
salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,
sahabatnya, tabi’innya, dan seluruh umatnya yang istiqomah mengikuti tuntunan
dan teladan sampai akhir zaman. Atas berkat rahmat Allah SWT, sehingga kami
dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “KELUARGA SEBAGAI SISTEM”. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan ini, masih
banyak terdapat kekeliruan, seperti pepatah yang mengatakan tak ada gading yang
tak retak, kami akan sangat berlapang dada dan besar hati menerima saran dan
kritik yang bersifat membangun, bermanfaat bagi kelanjutan pembuatan makalah
yang selanjutnya.
Padang, September
2016
Kelompok 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di berbagai belahan
dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial, keluarga merupakan unit sosial
penting dalam bangunan masyarakat. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang
terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman.
Berbagai perubahan oleh faktor perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak
dan karakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan. Pada
beberapa negara isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang mengemuka.
Meningkatnya angka perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari
merosotnya nilai-nilai keluarga ini. Kasus perceraian di Indonesia, sebagaimana
dipaparkan dalam laman Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (www.badilag.net) juga mengalami tren peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah
perceraian yang diputus oleh pengadilan agama sebanyak 167.807 kasus, meningkat
menjadi 213.960 kasus pada tahun 2008, dan 223.371 kasus pada tahun 2009.
Selain itu
terungkap pula data bahwa lembaga keluarga tidak selalu menjadi tempat yang
baik bagi perkembangan anak. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah
kekerasan anak yang dilakukan oleh orang terdekat, termasuk keluarga. Menurut
data Susenas 2006 (www.menegpp.go.id) angka korban kekerasan anak mencapai 2,29 juta (3%)
dengan jumlah kasus di pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Bila dilihat
dari sisi pelaku kekerasan, maka sebesar 61,4% dilakukan oleh orang tua. Pelaku
berikutnya berturut-turut adalah tetangga (6,7%), famili (3,8%), guru (3%),
rekan (0,8%), dan majikan (0,4%).
Meningkatnya angka
perceraian telah memunculkan isu mengenai kemerosotan nilai perkawinan.
Walaupun demikian, berbagai kajian telah menunjukkan berbagai manfaat dari
perkawinan (Olson & Olson, 2000), antara lain :
1.
Orang
yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat. Orang yang menikah cenderung
menghindari perilaku yang berbahaya daripada lajang, bercerai, atau duda.
Misalnya orang yang menikah lebih sedikit memiliki masalah minuman keras, yang
sering kali terkait dengan masalah kecelakaan, konflik antarpribadi, dan
depresi.
2.
Orang
yang menikah hidup lebih lama. Dapat terjadi karena mereka memiliki dukungan
emosi dari pasangan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.
3.
Orang
yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik.
4.
Orang
yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi. Orang yang menikah dapat
menggabungkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonominya.
5.
Anak-anak
pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua lengkap. Anak-anak
dengan kedua orang tua yang tinggal serumah cenderung lebih baik secara emosi
dan akademik. Sebagai remaja, mereka lebih sedikit yang mengalami hamil sebelum
menikah. Anak-anak dapat memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
definisi tentang keluarga?
2.
Apakah
struktur keluarga?
3.
Apakah
relasi dalam keluarga?
4.
Bagaimanakah
keberfungsian keluarga?
5.
Apakah
tentang teori sistem keluarga tersebut?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengenal serta mengetahui tentang keluarga sebagai sistem
dari parenting
anak usia dini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Keluarga
Keluarga merupakan
konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan sosial bersilang pendapat
mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal. Salah satu ilmuwan
yang permulaan mengkaji keluarga adalah George Murdock. Dalam bukunya Social Structure, Murdock menguraikan
bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal
bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock,
1965). Melalui surveinya terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan sejak
tahun 1937, Murdock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygamous family), dan keluarga batih (extended family). Berdasarkan
penelitiannya, Murdock menyatakan bahwa keluarga inti merupakan kelompok sosial
yang bersifat universal. Para anggota dari keluarga inti bukan hanya membentuk
kelompok sosial, melainkan juga menjalankan empat fungsi universal dari
keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan, dan ekonomi.
Kesimpulan Murdock
mengenai keluarga inti sebagai definisi keluarga yang bersifat universal
mendapatkan sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial. Definisi Murdock dianggap
terlalu bersifat struktural walaupun ia juga menjelaskan empat fungsi yang
terintegrasi dalam keluarga inti. Ira Reiss (1965), salah satu pengkritik
Murdock, berpendapat bahwa bukti lintas budaya menunjukkan adanya suatu
masyarakat yang menjadikan kepuasan seksual, fungsi reproduksi, dan kerja sama
ekonomi tidak melekat dalam jenis hubungan yang disebut keluarga. Selanjutnya
Reiss mengajukan suatu ciri spesifik yang melekat dalam keluarga, yaitu proses
sosialisasi pemeliharaan (nurturant
socialization). Dengan demikian, menurut Reiss keluarga adalah suatu
kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi
utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.
Pandangan berbeda
diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang menganggap definisi Reiss kurang
bersifat nominal, karena menekankan pada berlakunya fungsi tertentu. Pandangan
Weigert dan Thomas didasarkan pada pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada
generasi berikutnya dalam rangka menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang dapat
menjalankan fungsinya. Komponen budaya yang perlu ditransmisikan mereka sebut
dengan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (symbolic patternvalue). Menurut mereka keluarga adalah suatu
tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola nilai bersifat simbolik kepada
generasi baru.
Pada periode
berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana orang
awam mengonsepsi keluarga. Temuannya menunjukkan adanya kesesuaian antara
konsep keluarga oleh awam dan tiga perspektif pengertian keluarga utuh dari
Ascan F. Koerner dan Mary Anne Fitzpatrick. Menurut Koerner dan Fitzpatrick
(2004), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga
sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi
intersaksional.
1. Definisi
struktural
Keluarga
didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga,
seperti orangtua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada
siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul
pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga
batih (extended family).
2. Definisi
fungsional
Keluarga
didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi
psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak,
dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini
memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3. Definisi
transaksional
Keluarga
didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui
perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi,
pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada
bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Pada
umumnya, fungsi yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan dan merawat
anak, menyelesaikan masalah, dan saling peduli antaranggotanya tidak berubah
substansinya dari masa ke masa (Day, 2010). Namun, bagaimana keluarga
melakukannya dan siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut dapat berubah
dari masa ke masa dan bervariasi di antara berbagai budaya.
B. Struktur
Keluarga
Dari segi
keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
keluarga inti (nuclear family) dan
keluarga batih (extended family).
Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi
sosial, yaitu : suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan
keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan.
Adapun orangtua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga
inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki
anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti hubungan antara suami istri bersifat
saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak
tergantung pada orangtuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan
sosialisasi.
Adapun keluarga batih
adalah keluarga yang didalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi di
atas (Lee,1982) :
1.
Keluarga
batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi
manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal
dalam rumah orangtuanya.
2.
Keluarga
batih adalah keluarga berumpun (linear
family). Bentuk ini terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah
menikah tetap tinggal bersama kedua orangtuanya.
3.
Keluarga
batih adalah keluarga beranting (fully
extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terdapat
generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
Menurut Lee
(1982) kompleksitas struktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah individu
yang menjadi anggota keluarga, tetapi oleh banyaknya posisi sosial yang
terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu, besaran keluarga (family size) yang ditentukan oleh
banyaknya jumlah anggota, tidak identik dengan struktur keluarga (family structure). Walaupun keduanya
memiliki pertalian yang positif, namun keduanya tetap merupakan jenis variabel
yang berbeda.
Dengan
beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan dalam perkawinan
yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun demikian, sebagaimana
diungkapkan Hetherington (1999), proses yang berlangsung dalam keluarga lebih
besar pengaruhnya terhadap akibatan-akibatan pada diri anak, seperti rendahnya
perilaku bermasalah dan kepuasan hidup. Proses dalam keluarga tersebut mencakup
proses yang terjadi dalam relasi pasangan, relasi orangtua-anak, dan relasi
kakak-adik. Atau secara lebih spesifik berupa kelekatan orangtua-anak,
supervisi orangtua kepada anak dan perilaku kontrol dalam pengasuhan (Leiber,
Mack, & Featherstone, 2009).
C. Relasi
dalam Keluarga
Pada umumnya
keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap
ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami istri. Ketika anak pertama
lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika
anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga
macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga
inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih,
bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya
kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan.
Setiap bentuk relasi yang terjadi dalam keluarga biasanya memiliki
karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan karakteristik relasi
tersebut.
1. Relasi
Pasangan Suami Istri
Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami
istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam
keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi
suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan
penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan
sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu
dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian
sebagaimana di ungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi
tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai
dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap
dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang
positif merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang
konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek
kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting
komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila
kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu
menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik.
Dalam konsep perkawinan yang tradisional berlaku
pembagian tugas dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah dilakukan karena
segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab istri,
sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini telah
semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataan terus
meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan
keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas dan peran baik
untuk urusan mencari nafkah maupun pekerjaan domestik. Selain itu, kesadaran
tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak juga mendorong
keterlibatan pasangan untuk bersama-sama dalam pengasuhan anak. Keberhasilan
membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu
indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.
Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan
biasanya dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan
(Glenn, 2003). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang
dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada
kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaannya adalah bila kebahagiaan
perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan
berdasarkan pada evaluasi kognitif.
Menurut David H. Olson dan Amy K.Olson (2000), terdapat
sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak
bahagia, yaitu : komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian,
resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman,
pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual. Di antara sepuluh aspek
tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas,
kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik.
Aspek resolusi
konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan keyakinan individu terhadap
keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan. Strategi resolusi
konflik pasangan dapat dibedakan menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua
hal yang sering kali membuat resolusi konflik tidak efektif adalah tindakan
menyalahkan orang dan mengungkit persoalan yang telah lalu. Adapun resolusi
konflik yang konstruktif dapat dilakukan dengan :
1.
Menentukan
pokok permasalahan
2.
Mendiskusikan
sumbangan masing-masing pada permasalahan yang muncul
3.
Mendiskusikan
jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
4.
Menentukan
dan menghargai peran masing-masing terhadap penyelesaian masalah.
Relasi seksual
merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang dapat mencerminkan kepuasan
pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam hubungan. Suatu relasi seksual yang
baik sering kali merupakan akibat dari relasi emosi yang baik antara pasangan.
Sayangnya urusan seks sering kali menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan.
Perbedaan tingkat ketertarikan terhadap seks merupakan salah satu hal yang
sering menjadi ganjalan dalam relasi pasangan. Selain itu kurangnya sikap dan
tindakan afeksi terhadap pasangan juga berpengaruh terhadap kepuasan relasi
seksual. Oleh karena kualitas relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi
kebahagiaan pasangan, maka kualitas tersebut perlu dijaga atau ditingkatkan
melalui komunikasi seksualitas antara pasangan. Komunikasi seksualitas akan
membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap
kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi
nonverbal dapat membantu untuk menunjukkan afeksi terhadap pasangan.
Kualitas
perkawinan dapat memengaruhi berlangsungnya proses-proses yang lain dalam
keluarga, misalnya pengasuhan dan performansi individu. Pasangan yang memiliki
derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan memberikan perhatian secara lebih
positif pada anak (Rickard, Forehand, Atkeson, & Lopez, 1982). Kepuasan
perkawinan juga ditengarai mempunyai kaitan dengan terjadinya kekerasan
terhadap pasangan (Stith, green, Smith, & Ward, 2008), masalah perilaku dan
penyesuaian anak (Frick, Lahey, Hartdagen, & Hynd, 1989; Fishman &
Meyers, 2000). Mengingat hal-hal tersebut, pasangan menikah perlu didorong untuk
mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kepuasan perkawinan agar
dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan generasi yang berkualitas.
2.
Relasi
Orang Tua Anak
Menjadi
orang tua merupakan suatu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki
anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama
terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas
perkawinan.
Anak-anak
menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan
(Thompson, 2006). Menurut Thomson hubungan menjadi katalis bagi perkembangan
dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan
keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain
semenjak dini.
Dalam
tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua anak pada
umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment
theory) yang pertama kali dicetuskan oleh Jhon Bowlby (1969). Pada masa
awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang
dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya (Rosen
& Rothbaum, 2003). Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara
sistem kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Turner, 2005).
Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006), yakni
sebagai ikatan emosi yang terjadi diantara manusia yang memandu perasaan dan
perilaku.
Selain
teori kelekatan, hubungan antara orang tua-anak juga dapat dijelaskan dengan
pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua (parental acceptance-rejectiontheory) yang dikembangkan oleh Rohner
(Schwartz, Zambonga, Revart, Kim, Weisskirch, Williams, Besamin, & Finley,
2009). Menurut Rohner dkk,. Persepsi
anak terhadap penerimaan dan penolakam orang tua atau sosok signifikan yang lain akan memengaruhi
perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam
menghadapi masalah.
Kajian
tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi kedalam dua masa, yaitu sebelum
berkembangnya paham dua arah (bidirection
ality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa
berkembangnya paham satu arah (unidirectionality),
penelitian tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi
pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi
akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi
akademik, dan problem perilaku. Para ilmuan mulai mengenali bahwa baik orang
tua maupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi.
Menurut
Chen, khualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal
kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afektif positif (possitive affect), dan ketanggapan (responssiveness) dalam hubungan mereka.
Rasa
aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena interaksi yang berulang
yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan ketanggapan. Rasa percaya
diri anak dapat tumbuh karena adanya rasa aman terhadap lingkungannya dan orang
lain. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi yang
bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.
Interaksi
dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua- anak (Hinde,
1976). Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok,
yaitu :
a. Interaksi.
Orang tua dan anak berintaraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu
hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa
lalu dan antisipasi terhadap interaksi dikemudian hari.
b. Konribusi mutual. Orang
tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian
juga terhadap relasi keduannya.
c. Keunikan. Setiap
relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya
tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak yang lain.
d. Pengharapan masa lalu.
Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada
pengharapan keduanya.
e. Antisipasi masa depan. Karena
relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang
dikembangkan dalam hubungan keduannya.
3.
Relasi
Antarsaudara
Hubungan
dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang.
Pola hubungan tergantung pada masa kana-kanak dapat bertahan hingga dewasa.
Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling
dipengaruhi oleh empat karakterisktik, yaitu : jumlah saudara, urutan
kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin (Steelman & Koch, 2009 ).
Pola
hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang tua dalam
memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan waktu yang lebih sedikit atau
interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan perawatan terhadap anak kedua
dibanding dengan anak pertama, terutama bila anak kedua perempuan (Jacobs &
Moss 1976).
Pola
satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam memanfaatkan
sumber daya dari orang tua. Dalam perspektif ini seseorang anak dapat mengalami
kemunduran perkembangan (regresi) yang
disebabkan oleh kelahiran adiknya. Selain itu juga terdapat suatu kecenderungan
bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber dayanya secara lebih besar pada
anak sulung daripada anak yang lahir kemudian.
Walaupun
berbagai penelitian menunjukan berbagai hal negatif dalam hubungan
antarasaudara yang dikenal dengan sebutan sibling
rivalry, namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger Tallman
& Hsiao, 2003), antara lain :
a. Sebagai
tempat ujia coba (testing ground).
Saat bereksperimen dengan
perilaku anak, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukannya
pada orang tua atau teman sebayanya.
b. Sebagai
guru, biasanya anak yang lebih besar, kerena memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.
c. Sebagai
mitra untuk melatih keterampilan negoisasi.
d. Sebagai
sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan konflik.
e. Sebagai
sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.
f. Sebagai
pelindung dari saudaranya.
g. Sebagai
menerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap adiknya.
h. Sebagai
membuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada keluarga.
D. Keberfungsian Keluarga
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi
perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga
merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi
anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan
masyarakat dari generasi ke generasi.
Menurut Berns (2004), keluarga memiliki 5 fungsi
dasar yaitu :
a.
Reproduksi.
Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada didalam
masyarakat.
b.
Sosialisasi/edukasi.
Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan tekni dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c.
Penugasan
peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada
para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
d.
Dukungan
ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan,
dan jaminan hidup.
e.
Dukungan
emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak.
Dalam
perspektif perkembangan fungsi paling penting dari keluarga adalah melakukan
perawatan dan sosialisai kepada anak. Keluarga memang bukan satu-satunya
lembaga yang melakukan peran sosialisasi, melainkan keluarga tempat pertama
bagi anak dalam menjalani kehidupannya.
Keberfungsian
keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength)
keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.
1. Kelentingan Keluarga
Di
tengah zaman yang penuh dengan pergolakan, perubahan yang pesat dan berbagai
ketidakpastian, keluarga kian menghadapi tantangan yang berat. Agar keluarga
menjadi faktor yang signifikan dan berperan positif bagi masyarakat, maka
keluarga haru memiliki kelentingan dalam menghadapi tantangan zaman.
Perspektif
kelentingan memandang distres sebagai tantangan bagi keluarga, bukan hal yang
merusak, serta melihat potensi yang dimiliki keluarga untuk tumbuh dan
melakukan perbaikan.
Terdapat
3 faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu sistem keyakinan,
pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam keluarga. Keyakinan
merupakan lensa yang digunakan untuk memandang dunia dan kehidupan. Pola
pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur pendukung bagi
interaksi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Pola pengorganisasian
keluarga mencakup 3 aspek, yaitu fleksibilitas, ketergantungan (connecredness), serta sumber daya sosial
dan ekonomi.
Keterampilan
yang menjadi elemen dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara,
mendengar, mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai
dan menghormati. Tiga aspek
komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga adalah :
a.
Kemampuan memperjelas pesan yang
memungkinkan anggota keluarga untuk memperjelas situasi krisis.
b. Kemampuan
untuk mengungkapkan perasaan yang memungkinkan anggota keluarga untuk berbagi,
saling berempati, berintekrasi secara menyenangkan, bertanggung jawab terhadap
masing-masing perasaan dan perilakunya.
c. Kesediaan
berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang berat sama dipikul dan yang
ringan sama dijinjing.
2.
Kekukuhan
Keluarga
Kekukuhan
keluarga merupakan kualitas relasi didalam keluarga yang memberikan sumbangan
bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being)
keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mengidentifikasikan enam karakteristik
bagi keluarga yang kukuh, sebagai berikut :
a. Memiliki komitmen.
Dalam keadaan ini setian anggota keluarga dihargai dan diakui. Setiap anggota
keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan, sehingga
semangatnya adalah “satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya adalah
terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi
prioritas.
b. Terdapat kesediaan untuk
mengungkapkan apresiasi. Setiap orang menginginkan apa
yang dilakukannya diakui dan dihargai, karena penghargaan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia. Setiap anggota keluarga dapat melihat sisi baik dari
anggota yang lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikan tersebut.
Setiap ada keberhasilan dirayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam
keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan menjadi kebiasaan.
c. Terdapat waktu untuk berkumpul
bersama. Sebagian orang beranggapan bahwa dalam hubungan
orang tua-anak yang penting terdapat waktu yang berkhualitas, walaupun tidak
sering. Melalui interaksi orang tua-anak yang frekuensinya sering akan
mendukung terbentuknya kelekatan anak dengan orang tua. Seringnya kebersamaan
membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama
yang akan menyatu dan menguatkan mereka.
d. Mengembangkan spiritualitas.
Bagi sebagian keluarga, komunitas keagamaan menjadi keluarga kedua yang menjadi
sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan,
dan sperpektif. Ibarat ungkapan, keluarga-keluarga yang sering berdoa bersama-sama akan memiliki rasa
kebersamaan.
e. Menyelesaikan konflik serta
menghadapi tekanan dan krisis dengan
efektif. Setiap keluarga
pasti memiliki konflik, namun keluarga yang kukuh akan bersama-sama menghadapi
masalah yang muncul bukannya bertahan untuk saling berhadapan sehingga masalah
tidak terselesaikan. Keluarga yang kukuh juga mengelola sumber dayanya secara
bijaksana dan mempertimbangkan masa depan sehingga tekanan dapat diminimalkan.
Ketika keluarga ditimpa krisi, keluarga yang kukuh akan bersatu dan
menghadapinya bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.
f. Memiliki ritme.
Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan
arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya kehidupan sehari-hari. Ritme
atau pola-pola dalam keluarga ini akan menetapkan dan memperjelas peran
keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya. Harmoni dan ritme mungkin
berubah sebagai hasil dan kreatifitas, akan tetapi tetap saja hasilnya adalah
musik yang indah.
E. Teori Sistem Keluarga
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan
dalam kajian keluarga adalah pendekatan teori sistem. Teori sistem pertama kali
dicetuskan oleh Minuchin (1974), yang mengajukan skema konsep yang memandang
keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki
tiga komponen. Pertama, struktur
keluarga berupa sistem sosiokultur yang terbuka dan transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang
melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam
usahanya untuk mempertahankan rutinitas dan meningkatkan pertumbuhan
psikososial tiap anggotanya.
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan
fungsional tidak terlihat mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam
berinteraksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan
siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem.
Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai
sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian yang berhubungan dan saling
berkaitan. Randal D. Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah
sistem memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Keseluruhan (the family as awhole). Memahami keluarga
tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan. Dalam
pendekatan keluarga sebagai sistem, perhatian utama justru diberikan pada
bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian memberikan fokus pada individu.
b. Struktur (underlying structures).
Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur, misalnya pola
interaksi antara anggota keluarga yang menentukan apa yan terjadi didalam
keluarga. Bila Freud mencoba mengungkapkan hal-hal yang melandasi pikiran
manusia, seseorang peniliti atau terapis keluarga akan berusaha mengungkapkan
pola-pola didalam keluarga dengan mengamati bagaimana keluarga memecahkan
masalah, bagaiman anggota keluarga anggota berkomunikasi satu sama lain, dan
bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya.
c. Tujuan (families have goals). Setiap keluarga
memiliki tujuam yang ingin mereka raih, tetapi untuk mengungkapkan tujuan
keluarga ini seorang peniliti atau terapis perlu memiliki keterampilan
observasi yang memadai untuk dapat melihat pola-pola yang berulang didalam
keluarga sebelum tema atau tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki
rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga yang
lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga tergantung
seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga terhadap upaya
pencapaian tujuan.
d. Keseimbangan (equilibrium). Sebuah sepeda motor, sebagai
sebuah sistem yang tertutup dan mekanistik, mungkin suatu saat dapat mogok
karena kehabisan bensi. Untuk membuatnya berjalan lagi, kita tidak perlu
bersusah-susah, cukup mengisi tangki bensinnya. Tidak demikian hal nya dengan
keluarga yang merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis. Dalam menggapai
tujuannya keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi diluar dirinya yang
berubah dan berkembang.
e. Kelembaman (morphostatis). Selain berusaha mencapai
keseimbangan dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi, keluarga juga
mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidapan sehari-hari agar
berlangsung dengan baik.
f. Batas-batas (boundaries). Setiap sistem-sistem memiliki
batas-batas terluarnya yang membuatnya terpisah atau berbeda dengan sistem yang
lain. Batas-batas ini muncul manakala dua atau lebih sistem atau subsistem
bertemu, berinteraksi, atau bersama-sama. Beberapa sistem memiliki batas-batas
yang kukuh dan kuku, sementara yang lainnya mungkin memiliki batas-batas yang
mudah tembus. Apabila batas-batasnya mudah tembus berarti keluarga memiliki
batas-batas yang tidak rapat. Pada kenyataannya ada keluarga yang
batas-batasnya sangat mudah tembus seperi saringan, sementara keluarga yang
lain sangat protektif dan sulit ditembus seperti dinding-dinding istana.
g. Subsistem.
Didalam keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya subsistem pasangan
suami istri, subsistemrelasi orang tua-anak, subsistem peran orang tua. Salah
satu tugas utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas-batas keluarga.
h. Equifinality
dan equipotentiality.
Secara sederhana gagasan tentang equinality
berarti bahwa berbagai permulaan dapat membawa pada hasil akhir yang sama,
sementara suatu permulaan yang sama dapat pula membawa pada hasil akhir yang
berbeda. Sebagai contoh, berbagai kajian tentang interaksi orang tua anak
memperlihatkan bahwa keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari orang tua dapat menyebabkan hasil yang
berbeda. Sikap orang tua yang sangat tanggap (over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak menjadi
berprestesi (overachieve) dan dapat pula menyebabkan sebagian anak yang lain
menjadi kurang berprestasi (underachieve).
Contoh lainnya adalah anak-anak yang memiliki orang tua yang pecandu alkohol
dapat menyebabkan anak ikut mencandu alkohol atau bersikap anti-alkohol.
Demikian juga pasangan orang tua dapat semakin meningkat kebersamaanya oleh
sebab kelahiran atau kematian anaknya. Adapun equipotentiality berarti bahwa suatu psebab dapat menghasilkan
suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan mengikuti sebab
tersebut.
Pendekatan teori sistem memandang
keluarga sebagai kelompok yang memiliki sistem hierarki (Hendry, 1994), yang
artinya bahwa terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga
ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu dan relasi dua pihak (dyadic). Proses saling mempengaruhi
antarabagian didalam keluarga dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung
(Shaffer, 2002). Pengaruh langsung (indirect
effect) dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak yang
lain, atau pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lain.
Dengan pendekatan teori sistem, para
peneliti dan terapis keluarga akan memberikan fokus perhatian pada tindakan
yang dapat dilakukan dalam menanggapi suatu peristiwa dari pada memerhatikan
penyebab suatu peristiwa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada beragam definisi keluarga yang diajukan oleh pra
ahli. Definisi keluarga yang kucup komprehensif menurut Hill adalah rumah
tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi
ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada disuatu jaringan.
Struktur keluarga terdapat dua macam, yakni keluarga
inti dan keluarga batih. Ada tiga bentuk keluarga batih, yaitu keluarga
bercabang, keluarga berumpun, dan keluarga beranting. Struktur keluarga tidak
ditentukan oleh jumlah orang yang berada didalamnya, tetapi oleh banyaknya
posisi sosial yang terdapat dalam keluarga.
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan
suami-istri, kemudian diikuti relasi orang tua-anak dan relasi antarsaudara.
Relasi yang ada didalam keluarga bersifat dinamis, dan dapat membawa pengaruh
positif dan negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi.
Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat
kelentingsn dan kekukuhannya dalam menghadapi tantangan. Kelentingan keluarga
merupakan kemampuan untuk bangkit dari penderitaan, dengan menjadi lebih kuat
dan lebih memiliki sumber daya. Kekukuhan keluarga menggambarkan khualitas
relasi didalam keluarga yang menyumbang bagi kesehatan dan kesejahteraan bagi
anggota didalamnya.
Teori sistem menjadi salah satu pendekatan yang
sering digunakan dalam kajian keluarga. Teori sistem dicetus pertama kali oleh
Minuchin. Teori sistem memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang mempunyai
struktur, senantiasa berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan situasi
kondisi untuk mempertahankan kontinuitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Lestari,
Sri. 2012. Psikologi Keluarga ; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Kencana : Jakarta.